Rabu, 11 September 2013

Sayyidina Salman al-Farisi

Pada akhir tahun kelima Hijriah atau dalam tahun 627, kaum muslim di Madinah yang berkekuatan tiga ribu pasukan dikepung oleh Quraisy dengan sekutu-sekutunya termasuk dari kaum Yahudi Bani Nadhir, yang apabila digabungkan kekuatannya berjumlah sepuluh ribu pasukan. Tentara Muslim hanya punya dua ratus kuda, sementara Quraisy diperkuat tiga ratus pasukan berkuda, ditambah kekuatan dari Bani Ghathafan yang bersedia membantu kaum Yahudi setelah dijanjikan sogokan separuh hasil panen kurma di Khaybar.
Nabi SAW mengumpulkan sahabatnya untuk menanyakan pandangan dan usulan tentang rencana terbaik yang akan mereka lakukan dalam menghadapi serangan musuh itu. Akhirnya, Salman RA yang berasal dari Persia berdiri dan mengajukan usul, “Wahai Rasulullah, di Persia, jika kami menghadapi serangan pasukan berkuda dalam jumlah yang besar, kami akan menggali parit mengelilingi rumah-rumah kami. Maka, mari kita gali parit untuk melindungi kita.”
Semua setuju dan menyambut penuh semangat atas usul itu, Mereka terus bekerja keras menggali parit, saling menyemangati dan saling mengingatkan bahwa waktu begitu singkatnya. Pasukan musuh dapat datang tiba-tiba, dan jika mereka berhasil menyerang, Nabi SAW adalah sasaran utama penghinaan mereka.
Salman menjadi obyek kebanggaan mereka, karena ini merupakan strategi pertahanan baru bagi bangsa Arab. Di samping itu Salman yang bertubuh sangat kuat dan kekar tidak hanya mengeluarkan ide semata, tapi ikut terjun menggali dan mengusung tanah. “Ia seperti sepuluh orang pekerja,” kata mereka.
Masing-masing kelompok memuji Salman dan membanggakannya sebagai kelompoknya. “Salman itu orang kami,” kata kaum Muhajirin, karena dipandang sama-sama pendatang. “Dia itu orang kami,” balas kaum Anshar. “Kami lebih berhak terhadap dia.” Dan Nabi SAW bersabda, “Salman anggota kami, dia adalah ahlulbaitku.”
Anas meriwayatkan, Rasulullah SAW pergi ke parit pada pagi hari yang amat dingin, sementara orang-orang Muhajirin dan Anshar sedang menggali parit. Beliau tahu perut mereka kosong dan juga letih.
Oleh karena itu Beliau bersabda, “Ya, Allah, sesungguhnya kehidupan yang lebih baik adalah kehidupan akhirat, maka ampunilah orang-orang Muhajirin dan Anshar.” Mereka menjawab, “Kamilah yang telah berbai’at kepada Muhammad, siap berjihad selagi kami hidup.”
Selama penggalian parit ini terjadi sejumlah keghaiban yang disaksikan langsung oleh kaum Muslim kala itu. Jabir bin Abdullah melihat Rasulullah SAW yang benar-benar tersiksa karena lapar. Lalu Jabir menyembelih seekor hewan dan istrinya menanak satu sha’ tepung gandum. Setelah masak, Jabir membisiki Rasulullah SAW secara pelan-pelan agar datang ke rumahnya bersama beberapa sahabat saja. Tetapi Beliau justru berdiri di hadapan semua orang yang sedang menggali parit yang jumlahnya ada seribu orang, lalu mereka melahap makanan yang tak seberapa banyak itu hingga mereka kenyang. Bahkan masih ada sisa dagingnya, begitu pula adonan tepung untuk roti.
Saudara perempuan An-Nu’man bin Basyir datang ketempat penggalian parit sambil membawa kurma setangkup tangan untuk diberikan kepada ayah dan pamannya. Ketika itu pula Rasulullah SAW lewat didekatnya dan meminta kurma tersebut, lalu Beliau meletakkannya di atas selembar kain. Setelah itu Beliau memanggil semua orang dan merekapun memakannya.
Setelah semua orang yang menggali parit memakannya, ternyata kurma yang hanya setangkup tangan itu masih tersisa dan bahkan jumlahnya lebih banyak sehingga sebagian ada yang tercecer keluar dari hamparan kain.
Saat menggali parit ada sebongkah batu besar yang amat keras, mereka mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata, “Ini ada batu besar yang keras teronggok di tengah parit,” jawab beliau, “Kalau begitu aku akan turun ke bawah.” Beliau kemudian mengambil pangkur dan memukul batu itu, dan keluar kilatan cahaya mengarah ke selatan. Nabi memukulnya lagi dan keluarlah cahaya tapi mengarah ke Uhud dan melewatinya menuju ke utara. Dan pukulan yang ketiga menghancurkan batu itu hingga berkeping-keping, dan kali ini cahayanya mengarah ke timur.
Salman menyaksikan ketiga kilatan cahaya itu dan tahu bahwa semua itu mengandung makna. Maka ia bertanya kepada Nabi apa takwilnya, Nabi SAW menjawab, “Kau perhatikankah cahaya-cahaya itu, hai Salman? Dengan cahaya yang pertama, aku dapat menyaksikan kastil-kastil di Yaman, dengan cahaya yang kedua, aku menyaksikan kastil-kastil di Syria, dan dengan cahaya yang ketiga, aku menyaksikan istana Kisra di Mada’in.
Melalui yang pertama, Allah membukakan pintu bagiku menuju Yaman, melalui yang kedua, menuju Syria dan dunia Barat, dan melalui yang ketiga, ke arah Timur.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar